Depresi antenatal, gangguan mental yang paling umum terjadi pada kehamilan, menghadirkan tantangan kesehatan masyarakat yang besar. Menurut tinjauan sistematis terbaru, sekitar 28,5% ibu hamil di seluruh dunia terkena gejala depresi dengan tingkat yang berbeda-beda. Kondisi-kondisi ini tidak hanya berdampak buruk pada kualitas hidup ibu hamil, namun jika tidak ditangani, juga berdampak serius pada kesehatan ibu dan bayi.
Depresi antenatal dikaitkan dengan serangkaian konsekuensi kesehatan yang negatif, termasuk preeklamsia, persalinan operatif (seperti operasi caesar), kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, depresi pascapersalinan, dan peningkatan risiko bunuh diri ibu. Dibandingkan dengan ibu hamil tanpa gejala depresi, mereka yang memiliki gejala depresi tingkat tinggi berpeluang 2,26 kali lebih tinggi mengalami risiko ini. Selain itu, gejala depresi pada ibu dapat berdampak negatif pada perkembangan perilaku dan kognitif anak, sehingga memberikan beban jangka panjang yang besar pada keluarga dan masyarakat. Meskipun prevalensinya tinggi dan konsekuensinya signifikan, depresi antenatal kurang mendapat perhatian dibandingkan depresi pascapersalinan.
Sehingga banyak kasus yang tidak terdiagnosis dan tidak mendapat pengobatan dan memperkuat statusnya sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama. Oleh karena itu, perlu intervensi yang ditargetkan untuk kelompok berisiko tinggi dan integrasi layanan kesehatan mental ke dalam layanan antenatal rutin. Pemantauan gejala depresi yang berkelanjutan dan dinamis pada ibu hamil dan memastikan ibu berisiko menerima tindak lanjut yang komprehensif dan perawatan psikologis atau psikiatris yang tepat sangat penting untuk mengatasi depresi antenatal secara efektif dan meningkatkan hasil kesehatan ibu dan bayi.
Artikel ini telah dipublikasikan pada Mei 2024 di BMC Pregnancy and Childbirth, selengkapnya KLIK DISINI