PKMK-Yogyakarta. Salah satu indikator kualitas keberhasilan suatu negara dapat tercermin dari rendahnya kematian ibu di negara tersebut. Kondisi tersebut mengindikasikan SDM kesehatan telah mumpuni di bidangnya, juga menjadi tolak ukur pelayanan dan kesadaran kesehatan telah terdistribusi dengan baik. Indonesia merupakan negara dengan angka kematian ibu yang cukup tinggi dibanding negara ASEAN lainnya. Apakah upaya yang dilakukan pemerintah belum cukup? Apakah dibutuhkan strategi lain guna menurunkan angka kematian ibu di Indonesia? PKMK FK-KMK UGM sebagai salah satu pusat keilmuan terkemuka di Indonesia mengajak para ahli untuk bersama sama mem-break down, langkah langkah sinergitas dari sudut pandang kebijakan transformasi kesehatan dan ketahanan keluarga untuk menurunkan kematian ibu.
Seminar ini dibuka oleh penyampaian Keynote Speech, dari Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp. PD-KEMD., PhD, selaku Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Dalam dua dekade terakhir, Indonesia mengalami transisi epidemiologi yang signifikan. Mulai dari masalah kesehatan ibu dan anak menjadi masalah penyakit tidak menular. Namun, masalah kesehatan ibu dan anak tetap menjadi prioritas, mengingat periode “Bonus Demografi” yang semakin dekat. Kementerian Kesehatan telah berupaya dalam menangani isu kesehatan ibu dan anak melalui kebijakan Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK), dengan menjadikan kesehatan ibu, bayi, dan anak sebagai fokus utama dalam indikator sasaran strategisnya. Selain itu, perlu juga untuk memastikan wanita usia subur mendapatkan akses kebutuhan KB yang terpenuhi. Kementerian Kesehatan akan terus memastikan bahwa program KIA masuk dalam seluruh sendi transformasi kesehatan. Di samping itu, universitas sebagai inkubator gagasan yang menjadi titik tolak lahirnya kebijakan program turut memainkan peran penting dalam upaya penurunan prevalensi kematian ibu dan bayi di Indonesia.
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., selaku guru besar FK KMK UGM dalam pengantar yang disampaikannya menekankan bahwa kelemahan yang dimiliki harus dapat diubah menjadi kekuatan melalui “sinergi”. Dalam hal ini, sistem kesehatan memiliki peran penting sebagai alat untuk memantau situasi kesehatan ibu dan anak secara real time. Prof Laksono juga menyoroti bahwa angka kematian ibu di Indonesia sempat meningkat selama masa pandemi COVID-19. Meskipun sempat menurun pada 2022, tren tersebut kembali menunjukkan peningkatan pada 2023 dan 2024. Isu kematian ibu dan anak merupakan hal yang krusial, karena menyangkut isu ketahanan keluarga. Apabila seorang ibu meninggal maka terdapat suami yang ditinggal meninggal oleh istrinya dan anak yang kehilangan ibunya. Dalam konteks ini isu kematian ibu bukan lagi perihal angka, namun menjadi tragedi keluarga. Penanganan kematian ibu dan bayi merupakan tanggung jawab seluruh pihak, baik keluarga, komunitas, kolaborasi dinas dan dukungan daerah, serta inovasi lokal maupun digital yang saling bersinergi. Keterlibatan antar ilmu pengetahuan baik epidemiologi, promosi kesehatan hingga ekonomi, pembangunan, dan psikologi dapat menjadi penunjang dalam penyusunan kebijakan.
Prof. dr. Detty Siti Nurdiati, M.PH., Ph.D., Sp.OG., Subsp. KFM. selaku Guru Besar Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-KMK UGM sekaligus pemateri pertama, menekankan bahwa isu kesehatan ibu dan bayi merupakan tolok ukur penting dalam menilai kualitas sistem kesehatan suatu negara. Hal ini tercermin dari terpenuhinya kebutuhan akan akses fasilitas kesehatan serta tersedianya tenaga medis yang terlatih. Kematian ibu bukan hanya disebabkan oleh keterbatasan layanan, melainkan juga oleh berbagai komplikasi seperti pendarahan dan infeksi yang kerap terjadi saat proses persalinan. Tingkat kematian ibu paling tinggi ditemukan pada trimester ketiga kehamilan dan pada kelompok usia subur 20–35 tahun. Oleh karena itu, perlu evaluasi kembali terhadap sinergi serta efektivitas sistem rujukan dari puskesmas ke rumah sakit, sekaligus peningkatan kompetensi SDM di bidang obgyn dan layanan ibu-anak.
Prof. Detty juga menyampaikan bahwa standar pelayanan antenatal kini diarahkan mengikuti anjuran WHO, yaitu minimal delapan kali selama kehamilan, dari sebelumnya enam kali. Narasumber menyoroti pula lemahnya pemanfaatan data di lapangan, misalnya pencatatan berat badan ibu yang dilakukan secara rutin namun tidak ditindaklanjuti dengan analisis untuk tindakan pencegahan. Dalam konteks transformasi sistem kesehatan, tenaga kesehatan dapat berperan aktif melalui penguatan layanan primer seperti puskesmas dan posyandu, peningkatan kapasitas faskes PONED, optimalisasi sistem rujukan berbasis teknologi, ketersediaan alat dan obat esensial untuk kasus kritis, serta dukungan skema JKN. Pemanfaatan data real time melalui e-Kohort ibu hamil dan platform Satu Sehat juga menjadi bagian dari upaya memperkuat pelayanan maternal dan neonatal secara berkelanjutan.
drg. Ien Adriany, M.Kes. selaku Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTT, memaparkan materi mengenai peran keluarga dan strategi penurunan kematian ibu. Pihaknya menyampaikan bahwa pembangunan sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif dimulai dari pemenuhan hak dasar atas kesehatan, khususnya bagi ibu hamil, bayi baru lahir, dan anak. Tantangan penurunan angka kematian ibu dan anak di wilayah 3T seperti NTT sangat kompleks, salah satunya adalah ketimpangan distribusi tenaga kesehatan. Saat ini, hanya sebagian kecil Puskesmas yang memiliki formasi tenaga kesehatan sesuai standar. Keterbatasan sarana dan prasarana pun turut memperbesar risiko kematian ibu, dan hal ini menjadi hambatan serius dalam mencegah tiga keterlambatan utama (terlambat mengenali, memutuskan, dan merujuk).
Sebagai upaya mengatasi tantangan tersebut, Provinsi NTT telah melakukan berbagai langkah strategis, antara lain: pelaksanaan skrining dan pengobatan anemia pada remaja putri, supervisi fasilitatif di seluruh kabupaten/kota, program hospital mentoring di belasan RSUD yang tersebar di berbagai wilayah, pelatihan dan orientasi bagi tenaga kesehatan, serta penyediaan logistik dan perbekalan kesehatan guna mendukung pelayanan maternal dan neonatal.
Dr. Amurwani Dwi Lestariningsih, S.Sos., M.Hum. selaku Deputi Bidang Kesetaraan Gender di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, menegaskan bahwa perempuan merupakan aset penting dalam pembangunan yang perlu dilindungi dan diberdayakan secara optimal. Ia menyoroti bahwa isu kematian ibu dan bayi kerap dianggap semata sebagai persoalan kesehatan, padahal di dalamnya terdapat ketimpangan yang kompleks, terutama terkait akses, informasi, dan kendali perempuan atas tubuh serta kehamilannya. Ketidakberdayaan perempuan dalam mengambil keputusan mengenai kontrasepsi, layanan kesehatan reproduksi, serta perencanaan jumlah dan jarak kehamilan menjadi perhatian utama dalam upaya pemberdayaan.
Lebih lanjut, Dr. Amurwani menekankan pentingnya keterlibatan laki-laki baik sebagai suami maupun calon ayah dalam memahami isu keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Pengetahuan ini dinilai sebagai bentuk penghargaan terhadap pasangan sekaligus pondasi penting dalam membangun keluarga yang tangguh dan setara.
Para pembahas yang hadir, antara lain dr. Irwan Panca Waria Seno, M.KM. (Ketua Tim Kerja Kesehatan Maternal Neonatal, Direktorat Pelayanan Kesehatan Keluarga), Erlina Hidayati Sumardi, SIP., MM. (Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk DIY), Lisna Prihantini, S.Psi., M.Si. (Direktur Bina Penggerak Lini Lapangan, BKKBN), Dr. dr. Prita Muliarini, SpOG., Subsp. Obginsos (K), M.H., MM., FISQua., Int.Aff.Ranzcog. (Ketua Pokja Pelatihan dan Penelitian HOGSI Cabang Malang), dan dr. Gregorius Virgianto Arpuji Anggoro Putro, MHEP. (Analis Kebijakan Penjaminan Manfaat Rujukan Muda, BPJS Kesehatan), menyampaikan pandangan dan strategi dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
Strategi yang disoroti mencakup deteksi dini dan penanganan faktor risiko yang berkontribusi terhadap kematian ibu, peningkatan mutu layanan serta akses terhadap fasilitas kesehatan sebelum dan sesudah persalinan, penguatan manajemen program maternal dan neonatal, serta pelibatan aktif masyarakat. Para pembahas juga mengusulkan sejumlah rekomendasi kebijakan, termasuk integrasi sistem informasi dan pemerataan intervensi berbasis risiko AKI, penguatan peran keluarga dan komunitas, serta dukungan melalui alokasi anggaran khusus bagi pelayanan kesehatan ibu.
Reporter: Firda Alya (PKMK UGM)