Reportase Webinar “Inovasi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Berbasis Pangan Lokal untuk Mencegah Stunting pada Anak Balita”

Artikel Mingguan Reportase

Reportase
Webinar Inovasi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Berbasis Pangan Lokal untuk Mencegah Stunting pada Anak Balita

PKMK-Yogyakarta. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK)FK-KMK UGM menyelenggarakan Webinar Inovasi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Berbasis Pangan Lokal untuk Mencegah Stunting pada Anak Balita. Narasumber webinar ini antara lain Dr. dr. Emy Huriyati, M.Kes selaku dosen di Departemen Gizi Kesehatan FK-KMK UGM, dr. Neti Nurani, M.Kes, Sp.A (K) selaku dosen di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK-KMK UGM dan dokter di RS Dr Sardjito Yogyakarta, dr. Meiria Sari Kusuma Putri selaku dokter di Puskesmas Wirobrajan, Yogyakarta. sedangkan pembahas adalah Endang Pamungkasiwi, SKM, M.Kes selaku Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi DIY dan Dewi Astuti, S.Gz., MKM dari Direktorat Pelayanan Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan.

Dr. dr. Emy Huriyati, M.Kes menyampaikan “Gambaran Praktik Pemberian Makanan Tambahan (PMT) di Masyarakat”. PMT merupakan makanan lengkap siap santap atau kudapan yang kaya sumber protein dengan memperhatikan gizi seimbang dengan  2 macam  sumber lauk hewani yang berbeda. PMT dimaksudkan sebagai pelengkap, bukan pengganti makanan utama anak. Tujuan utamanya untuk memperbaiki status gizi balita melalui pemanfaatan pangan lokal sesuai standar yang berlaku. Pemberian PMT dapat dilakukan pada saat posyandu atau saat kunjungan rumah oleh kader. Selain sebagai intervensi gizi, PMT juga berfungsi sebagai media edukasi, khususnya dalam penerapan prinsip “Isi Piringku”. Terdapat 2 jenis PMT di masyarakat yaitu PMT lokal dan PMT pabrikan (kemasan). PMT lokal diberikan 1-2 kali per minggu saat kegiatan posyandu, meskipun ada juga yang menyediakan secara harian. Berbagai studi menyebutkan bahwa PMT lokal cenderung lebih disukai masyarakat. Namun demikian, masih banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, seperti keterbatasan dana, kurangnya pelatihan kader, adanya menu makanan yang monoton, ada keterbatasan bahan lokal atau pengetahuan menyebabkan pemilihan menu tidak sesuai dengan kebutuhan gizi, serta masih minimnya monitoring dan evaluasi pelaksanaan PMT. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan edukasi gizi, peningkatan kapasitas kader, diversifikasi menu PMT lokal, monitoring dan evaluasi berkala, penguatan dukungan lintas sektor, serta adanya pelibatan dan pemberdayan masyarakat dalam pelaksanaan program PMT.

Selanjutnya, dr. Neti Nurani, M.Kes, Sp.A (K) menyampaikan Dampak Praktik Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang Tidak Tepat Terhadap Status Gizi dan Pertumbuhan Anak Balita. Meskipun PMT berperan sebagai intervensi penting untuk mendukung asupan gizi anak, keberhasilannya sangat ditentukan oleh cara pelaksanaannya. Jika dilakukan secara keliru, justru dapat menimbulkan masalah gizi baru. Dalam praktik pemberian makanan tambahan, terdapat empat aspek ketidaktepatan yakni tidak tepat waktu (terlalu dini atau terlalu lambat), tidak tepat gizi, tidak tepat sasaran, serta tidak tepat cara. Dampak dari kesalahan ini antara lain berat badan anak tidak naik, sistem imun yang melemah sehingga anak lebih mudah sakit, nafsu makan anak menurun, pertumbuhan linier anak melambat, serta berisiko menyebabkan stunting. Padahal kondisi kekurangan gizi dapat menyebabkan penurunan kognitif.

dr. Meiria Sari Kusuma Putri menyampaikan Inovasi PMT Bergizi dan Tepat Sasaran Berbasis Pangan Lokal untuk Pencegahan Stunting pada Anak Balita di posyandu Lada 3. Inovasi tersebut mencakup ”BALOK GUNTING” (Pemberian makanan tambahan lokal untuk cegah stunting) dan “SEMAR CENTINI GANDENGAN” (Semangat bersama cegah stunting sejak dini “gandengan”). Pelaksanaan inovasi ini menghadapi beberapa tantangan, antara lain penyesuaian menu PMT berdasarkan usia balita yang berubah setiap bulan, masih adanya stigma orang tua terhadap PMT, pola asuh balita yang kurang dari orangtua kandung, serta perlunya keterlibatan lintas sektor agar inovasi berjalan optimal. Strategi pengembangan inovasi yang dilaksanakan meliputi (1) pendampingan dan monitoring PMT agar lebih variatif, (2) penyuluhan satu bulan sekali di Posyandu Lada 3, (3) PMT pemulihan untuk balita (T) selama 14 hari. Adapun monitoring evaluasi yang dilaksanakan yaitu petugas puskesmas memastikan pemberian PMT pemulihan sesuai dengan standar resep yang ditetapkan, memastikan PTM sebagai makanan tambahan bukan makanan utama, serta melakukan evaluasi dengan penimbangan 1 minggu sekali dan memberikan edukasi kepada sasaran.

Endang Pamungkasiwi, SKM, M.Kes menyampaikan Peluang dan Tantangan PMT Lokal. Ketepatan sasaran intervensi menjadi aspek krusial dalam intervensi, terutama karena banyak balita usia 6–11 bulan mengalami stagnasi berat badan. Namun demikian, kelompok usia ini justru memiliki sasaran yang kecil, salah satunya disebabkan oleh bentuk dan jenis PMT yang belum menyerupai makanan keluarga, sehingga membutuhkan teknik pengolahan yang lebih kompleks, baik dari sisi jenis maupun teksturnya. Dalam implementasi di lapangan, terdapat berbagai kendala, diantaranya lokasi rumah sasaran yang berjauhan serta adanya anggaran distribusi oleh kader yang sangat terbatas. Ragam menu yang tersedia juga masih kurang sesuai, khususnya untuk balita usia 6–8 bulan. Selain itu ada keterbatasan monitoring dan evaluasi berupa penimbangan setiap minggu yang menjadi tantangan untuk kader.

Dewi Astuti, S.Gz., M.K.M selaku pembahas menyampaikan topik mengenai Kebijakan PMT Lokal sebagai Intervensi Stunting. saat ini, Kementerian Kesehatan terus menggerakkan 11 program percepatan pencegahan dan penurunan stunting, mulai dari intervensi sebelum hamil hingga setelah lahir, karena stunting merupakan kondisi yang berkembang secara bertahap. Program PMT berbasis pangan lokal telah dilaksanakan sejak 2023 hingga 2025, sudah ada 508 kabupaten/kota mendapatkan pendanaan PMT bahan pangan lokal. Dewi kembali menekankan bahwa PMT bukan sebagai pengganti makanan utama dan perlunya edukasi kepada masyarakat untuk dapat mengatasi berbagai tantangan dalam pemberian PMT bahan pangan lokal. Selain itu, PMT sebaiknya mengandung tinggi protein hewani, termasuk dalam bentuk cemilan, dan tetap mengikuti standar yang tercantum dalam petunjuk teknis.Dalam praktiknya, pemberian PMT perlu dilengkapi dengan edukasi kepada keluarga, baik melalui konseling, penyuluhan, maupun demo memasak, dengan penyesuaian terhadap nilai-nilai budaya setempat di masing-masing wilayah.

Materi Kegiatan silahkan Klik DISINI Reporter: Latifah Alifiana (PKMK UGM)