Anak Juga Bisa Alami Eating Disorder, Ini yang Perlu Orang Tua Pahami

Anak Juga Bisa Alami Eating Disorder, Ini yang Perlu Orang Tua Pahami

Berita

Jakarta – Perjuangan untuk pulih dari eating disorder adalah perjalanan yang panjang dan rumit. Bahkan, penderitanya sendiri terkadang tidak menyadari bahwa ia menderita kondisi tersebut. Oleh karena itu, peran keluarga dan orang terdekat dalam mendampingi pejuang eating disorder menjadi begitu penting.

Eating disorder adalah kebiasaan makan yang tak biasa, dan bisa mengancam kesehatan seseorang. Kondisi ini biasanya ditandai oleh hubungan kurang sehat dengan makanan, bentuk tubuh, serta berat badan. Hal ini juga bisa terjadi pada mereka yang berusia muda, seperti anak-anak dan remaja.

Psikolog Anak dan Remaja, Kanti S. Pernama, M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa poin gejala eating disorder dapat dilihat dari perubahan fisik maupun perilaku anak terutama yang berkaitan dengan pola makan. Orang tua bisa mengidentifikasi jika terdapat perubahan berat badan anak yang sangat signifikan, atau jika anak tiba-tiba menerapkan aturan ketat terhadap pola makannya.

Demi menurunkan berat badan, penderita eating disorder seringkali menggunakan obat-obatan. Kanti menyebutkan, laxative dan produk-produk pelangsing adalah beberapa di antaranya. Jika dikonsumsi secara berlebihan, tentu ini akan berpengaruh pada kesehatan anak.

Ketika anak kekurangan gizi akibat menderita eating disorder, muncul juga gejala-gejala fisik yang bisa diidentifikasi. Misalnya, menstruasi yang tiba-tiba berhenti selama beberapa periode, atau anak terlihat selalu lemas.

Orang tua juga bisa memperhatikan kebiasaan anak setelah makan. Misalnya, jika anak selalu pergi ke toilet tepat setelah makan. Waspadai jika ada kemungkinan anak memuntahkan makanan tepat setelah menyantapnya.

Penyebab eating disorder memang tidak pasti dan kompleks. Namun, erat kaitannya dengan permasalahan terkait citra diri. Sehingga, jika anak sering berbicara negatif mengenai tubuhnya sendiri, hal ini pantas mendapat perhatian lebih lanjut.

“Atau, adanya pembahasan dan kekhawatiran yang sering terkait dengan body image. Misalnya dia sering, ‘Pipiku kok besar ya? Pinggulku besar. Aduh perutku nggak kencang,’ misalnya,” jelas Kanti di acara e-Life detikcom.

Ada banyak hal yang bisa menjadi acuan untuk mengidentifikasi kecenderungan anak mengalami eating disorder. Namun, terkadang persoalan ini jadi pelik ketika eating disorder terlihat seperti usaha untuk menerapkan diet sehat.

Makan makanan yang sehat dan bergizi tentu baik manfaatnya bagi kesehatan. Namun, jika porsinya tak seimbang, justru bisa membahayakan anak.

Pada dasarnya, diet adalah pola makan. Kanti menyebutkan, jika anak sedang melakukan diet sehat untuk menurunkan berat badan, biasanya akan ada pengurangan porsi pada makanan. Namun, komposisi makanannya lengkap dan bergizi. Ada karbohidrat, protein, lemak, dan sebagainya. Sehingga, orang tua patut curiga jika anak tiba-tiba mengubah komposisi makanannya dengan berfokus pada pengurangan porsi makanan secara ekstrem tanpa memperhatikan keseimbangan gizi di dalamnya.

“Kalau misalnya diet yang sehat, kan biasanya cuma oke ngurangin porsinya aja dikurangin, tapi semua komposisi makanannya masih ada misalnya gitu. Tapi kalau yang ini, benar-benar lemaknya nggak ada, misalnya kayak gitu. Atau protein yang benar-benar lean meats-nya aja, dan itu pun sedikit. Terlalu banyak sayurnya, misalnya,” kata Kanti.

Kanti menyebutkan, olahraga yang berlebihan dan kompulsif juga sering dilakukan penderita eating disorder. Hal ini umumnya dilakukan sebagai kompensasi atas rasa bersalah akibat menyantap makanan.

“Harusnya tadi habis makan segitu, ya paling berenang atau cuma lari segini doang, atau jogging doang. Tapi kok ini dia benar-benar selama berapa jam olahraga terus, misalnya,” jelasnya.

Jika orang tua mulai menyadari anak memiliki kecenderungan eating disorder, hal pertama yang bisa dilakukan adalah mengajaknya berkomunikasi. Namun, jangan berhenti berusaha saat anak sulit bercerita atau bersikap tertutup.

“Orang-orang eating disorder sangat secretive. Karena bahkan gangguannya sendiri itu secretive, gitu. Nggak mudah untuk dilihat, dan bersifat individual. Kita boleh tanya, ‘Ada kesulitan apa?’ misalnya. Ketika dia sudah mulai terbuka, baru kita habis itu minta bantuan seawal mungkin. Karena ketika eating disorder ditangani dari awal, kesempatan recovery-nya semakin tinggi,” tutur Kanti.

Orang-orang dengan eating disorder umumnya butuh bantuan profesional untuk pulih. Kanti menjelaskan bahwa bantuan ini bersifat multidisipliner, atau berasal dari berbagai lini mulai dari medis, psikologis, hingga spiritual.

Umumnya, bantuan pertama diarahkan pada dokter. Hal ini untuk menangani efek eating disorder yang terlanjur terjadi pada tubuh anak.

“Karena kadang-kadang akan ada ketidakseimbangan elektrolit, misalnya. Atau ada fungsi organ tertentu yang sudah jadi nggak berfungsi dengan baik, misalnya. Apalagi kalau misalnya sudah ada stop menstruasi berapa, sampai satu tahun, misalnya. Jadi, itu perlu penanganan dari segi medis, dari dokter,” jelas Kanti.

Secara bersamaan, bantuan dari lini psikologis juga penting. Psikolog dapat membantu untuk mengidentifikasi permasalahan yang mendasari munculnya eating disorder pada anak. Misalnya, adanya permasalahan dengan kecemasan, konsep diri, atau pengalaman buruk di masa lalu.

Bahkan, pendekatan secara spiritual juga bisa dilakukan demi membantu anak pulih dari eating disorder. Kanti menyebutkan, tak dapat dipungkiri bahwa keyakinan terkadang bisa membantu seseorang.

Setelah itu, orang tua bisa mencari bantuan terapi seperti CBT (Cognitive Behavioral Therapy). Langkah ini umumnya bisa membantu anak dalam proses pemulihan.

Sembari mengusahakan bantuan dari berbagai lini, orang tua bisa berperan dalam mengidentifikasi thinking errors, atau kesalahan berpikir anak. Anak yang mengalami eating disorder seringkali mengalami kesulitan dengan citra dirinya. Hal ini yang menyebabkan anak sering berbicara negatif mengenai tubuhnya. Orang tua perlu peka dan perlahan-lahan mengoreksinya bersama.

“Misalnya nih, anak bilang, ‘Aku kelihatan gendut banget nih di foto ini, aku nggak kelihatan senang, karena berat badan aku waktu itu segini kilo’ misalnya gitu. Ini thinking errors. Kita koreksi bahwa, ‘Oke, senang karena punya badan bagus wajar banget kok, semua orang juga pasti pengin punya badan yang bagus. Tapi, kebahagiaan kamu tidak ditentukan oleh berat badan kamu lho,’ gitu,” jelas Kanti.

Kanti juga menekankan bahwa eating disorder adalah perjalanan yang sangat panjang dan bisa terpicu oleh apapun. Maka, orang tua perlu mendukung untuk fokus pada pemulihan eating disorder anak dengan berbagai usaha multidisipliner dan pendampingan secara konsisten.


Sumber: detik.com