Strategi 2020 Melawan Stunting

Berita

Jakarta -Desakan Presiden Joko Widodo untuk melakukan percepatan penyelesaian masalah stunting di acara Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Nasional Rancangan RPJMN 2020-2024 beberapa saat lalu memberikan kesan genting bahwa persoalan status gizi di Indonesia masih menjadi aib.

World Bank pada 2017 melaporkan bahwa Indonesia adalah negara ke-4 di dunia dengan jumlah balita stunting tertinggi. Jumlah stunting (kondisi gagal tumbuh anak balita yang disebabkan oleh malnutrisi kronis) di Indonesia hanya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan India, Pakistan, dan Nigeria.

Pesan dari Presiden itu juga seolah mengkonfirmasi bahwa ada grafik yang tidak menggembirakan dari penurunan angka stunting di Indonesia. Data termutakhir dari hasil riset studi status gizi balita Indonesia (SSGBI) 2019 mencatat bahwa jumlah balita stunting di Indonesia saat ini mencapai 27,67 persen. Artinya, terdapat 6.3 juta dari populasi 23 juta balita di Indonesia yang mengidap masalah stunting. Jumlah yang telah melampaui nilai standar maksimal dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni sebesar 20 persen atau seperlima dari jumlah total anak balita dalam suatu negara.

Suka atau tidak, inilah kenyataan yang terjadi sepanjang satu dekade terakhir. Selama bertahun-tahun lamanya Indonesia dianggap sebagai negara yang berkontribusi besar terhadap masalah stunting dunia. Walaupun tingkat status gizi masyarakat Indonesia terlihat membaik, namun tidak demikian dengan permasalahan stunting. Jika mengacu pada data 2013 saja, prevalensi stunting di Indonesia bahkan lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand 16%.

Sialnya, tingginya kasus stunting ini memberikan implikasi buruk terhadap pembangunan dan kemajuan di Indonesia. Stunting mengancam produktivitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, karena rentan diserang oleh pelbagai penyakit. Stunting mengurangi perkembangan daya saing SDM. Praktis, kerugian ekonomi yang harus ditanggung akibat beban stunting juga begitu signifikan. Kerugian ekonomi yang menurut World Bank dapat mencapai 2 hingga 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun dari suatu negara.
Literasi Gizi

Pada 2010 sebuah laporan UNESCO yang berjudul The Social and Economic Impact of Illiteracy menyatakan bahwa tingkat literasi rendah mengakibatkan kehilangan atau penurunan produktivitas dan tingginya beban biaya kesehatan dalam suatu negara. Hal ini pertanda bahwa Agenda Prioritas Nasional pemerintah untuk melakukan penurunan kasus stunting akan sulit terealisasi apabila agenda penyelesaian masalah rendahnya literasi gizi (nutrition illiterate) masyarakat tidak ditempatkan sebagai kebijakan nasional untuk mengawali penyelesaian masalah stunting.
Literasi gizi adalah faktor penentu dalam menentukan status gizi dalam suatu masyarakat. Karena itu, langkah awal dalam menyelesaikan persoalan masalah sunting adalah dengan memperbaiki tingkat literasi gizi masyarakat. Sadar atau tidak permasalahan dari stunting bukan hanya mengenai persoalan gizi buruk semata, tetapi juga karena faktor pengetahuan atau informasi masyarakat dalam memahami kecukupan nutrisi. Tanpa melakukan upaya perbaikan terhadap tingkat literasi gizi, tentu saja akan sangat susah bagi Indonesia untuk dapat menurunkan angka stunting secara cepat.

Bicara literasi, kita bicara tentang bagaimana proses pengaturan regulasi dan pemberian informasi yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan bagi masyarakat Indonesia. Namun sayangnya, informasi krusial yang seperti ini tidak mengalir turun sampai ke seluruh masyarakat. Ada patahan dalam proses tersebut yang menyebabkan masih banyak masyarakat yang tidak melek dengan informasi gizi.

Padahal informasi tentang Angka Kecukupan Gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (DRA) berisi informasi mengenai kecukupan rata-rata zat gizi sehari yang direkomendasikan kepada hampir semua orang sehat (97,5%) sesuai dengan karakteristik umur, jenis kelamin, ukuran tubuh aktivitas fisik, genetik, dan keadaan fisiologis untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Informasi ini penting dipahami oleh masyarakat dan menjadi acuan dalam memenuhi kebutuhan dasar gizi.

Selain itu, materi edukasi gizi terutama tentang Pedoman Gizi Seimbang (PGS) perlu diperkenalkan secara meluas kepada semua kelompok rentan seperti ibu hamil, masyarakat miskin dan juga anak-anak sekolah di Indonesia. Melakukan pembumian literasi informasi mulai dari sekolah-sekolah, fasilitas Kesehatan, dan rumah warga, tentang bagaimana pemilihan makanan dan minuman yang syarat gizi dan juga tentang apa saja sumber dan fungsi zat gizi.

Sebuah studi yang dilakukan Gerakan Nusantara (GerNUS) di Cianjur, Klaten, dan Magelang yang diikuti oleh 148 guru sebagai peserta dari 75 Sekolah Dasar menemukan bahwa hampir semua guru memiliki pengetahuan gizi yang sangat rendah. Ini kenyataan yang miris di tengah adanya kemudahan akses informasi melalui internet dan perkembangan pengetahuan yang telah berubah pesat.

Akses Pangan

Walaupun sejak lama program pangan dan gizi sudah menjadi prioritas pemerintah melalui RPJMN 2015–2019 dan juga RPJMN 2020-2024, namun bukan berarti akses pangan di Indonesia tidak tanpa masalah. Akses pangan dalam arti yang lebih jauh adalah kemampuan suatu masyarakat memiliki sumber daya secara ekonomi maupun fisik untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Konsekuensi dari sulitnya akses pangan yang sulit maka menciptakan rantai kelaparan di dalam suatu masyarakat.

Global Hunger Index 2018 merilis sebuah laporan yang menyatakan bahwa masalah kelaparan di Indonesia sudah berada pada level yang mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari jumlah skor kelaparan Indonesia yakni sebesar 21,9. Ironisnya, posisi Indonesia bahkan berada di peringkat 73 dunia dengan masalah kelaparan.

Laporan tersebut memang senada dengan data dari BPS yang menyebutkan bahwa hanya 8 persen masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi protein hewani seperti daging, susu, telur, dan ikan. Konsumsi protein hewani Indonesia sangat tertinggal jauh dengan negara-negara di Asia Tenggara seperti Thailand dan Filipina yang saat ini telah mencapai 20 persen hingga 21 persen. Terlebih Malaysia, konsumsi protein hewaninya telah mencapai angka 28 persen.

Tingkat konsumsi pangan bergizi yang rendah adalah tanda bahwa akses pangan masih sulit. Ini menjadi catatan yang penting bagi pemerintah bahwa akses pangan adalah faktor kunci dalam membangun suatu negara yang terbebas dari masalah stunting. Oleh karena itu, peningkatan kemampuan akses masyarakat terhadap bahan pangan terutama bagi kalangan masyarakat miskin harus diprioritaskan oleh pemerintah agar penyelesaian kasus stunting di Indonesia segera terjadi.

Tepat Sasaran

Membayangkan Indonesia di masa depan bisa terbebas dari permasalahan stunting memang bukanlah sesuatu yang utopis. Banyak potensi dan sumber daya yang dapat dioptimalkan dengan baik untuk mengatasi problem stunting. Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman ekosistem terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Hong Kong. Indonesia menyimpan sumber daya laut yang sangat melimpah.

Pada konteks itu, menata agar permasalahan status gizi masyarakat Indonesia dapat teratasi tentu memerlukan strategi yang tepat dan terukur. Butuh siasat khusus agar masalah stunting bisa berkurang dari bumi Indonesia. Terpenting strategi atau kebijakan dalam pengurangan stunting dapat berdaya guna dan dapat menyentuh sasaran secara tepat.

Jika tidak ada kebaruan dan masih terus menggunakan jurus yang sama dalam menangani masalah stunting, maka sama berarti semua upaya yang dilakukan menghasilkan sesuatu yang sia-sia. Walhasil kondisi tersebut akan membuat Indonesia kehilangan momentum untuk dapat melompat jauh ke depan menjadi negara yang besar.

Muktamar Umakaapapeneliti di Merial Institute, menempuh Magister Ilmu Kebijakan dan Hukum Kesehatan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Sumber: https://news.detik.com/